Friday, May 11, 2012 |
0
comments
Repotnya Budaya Konsumtif
Terkadang penulis merasa heran
melihat umat Islam di Indonesia. Tingkat konsumsinya sangat tinggi dapat
dibuktikan dari menjamurnya wisata kuliner dan swalayan. Usaha yang tak pernah
sepi diserbu pengunjung sehingga banyak pengusaha menanggung untung. Memang
diakui itu sebagai sebuah kebutuhan pokok. Tapi dalam perkembangannya wisata
kuliner dan kunjungan ke mall (pasar swalayan) menjadi tren kehidupan
masyarakat. Kondisi ini semakin langgeng dengan dukungan pemerintah (baik
pemerintah pusat dan daerah).
Adanya budaya konsumtif tentu
mendorong terjadinya kecepatan perputaran uang. Di sebuah perkotaan, ekonomi
berkembang pesat. Dalam sehari miliaran rupiah berpindah tangan, mendukung
terciptanya dominasi kapitalisme global. Berbagai produk legislasi tidak berusaha
mencegahnya, sebab ada kepentingan terusik jika arus ini dihentikan. Jadilah
Indonesia negara konsumtif, tempat penjualan barang luar negeri. Barang impor
sangat laris manis dan laku keras diperjual – belikan. Gejala penjajahan gaya
baru yang sangat sulit untuk dihentikan.
Di tengah mengguritanya
kapitalisme akibat perilaku konsumtif. Pemerintah sibuk berhutang demi
kelancaran pembangunan infrastruktur bangsa. Pada tahun 2008, Indonesia
berhutang Rp 1.397, 610 triliun (155,29 milyar dolar AS). Angka itu terdiri
atas pinjaman yang diperoleh dengan perjanjian utang senilai Rp 64,34 milyar
dolar AS dan penerbitan obligasi negara Rp 90,95 miliar dolar AS. Fakta yang
mengusik keprihatinan anak bangsa atas keberlangsungan Indonesia di masa
mendatang. Bagaimanapun kewajiban membayar hutang,menghantui setiap bayi yang
baru lahir.
Tidak heran, bangsa yang besar
ini terus mengalami keterpurukan. Sebab tingkat konsumsinya selalu tinggi,
sedangkan produktivitas rendah. Serbuan barang China dan AS misalnya, sangat
mudah masuk ke blantika perdagangan tanah air. Dalam kehidupan sehari – hari
sudah tak terhitung berapa anak bangsa yang memiliki Black berry, kebanjiran
produk China dan malu memakai produk Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai
bangsa besar yang diperbudak asing di negeri sendiri. Tidak cukup itu,
belakangan kita makin miris mendengar negeri yang memiliki lautan luas ini
“dipaksa mengimpor” garam.
Melawan Dengan Membaca
Di tengah kekacauan dan hantu
perekonomian yang memburuk, Indonesia dibenturkan masalah rendahnya sumber daya
manusia (SDM). Bidang pendidikan mengalami kelunturan internalisasi nilai dan
pengetahuan. Proses pengembangan IPTEK berjalan lambat sebagai akibat maraknya
westernisasi dan lemahnya budaya membaca dan menulis. Buku sebagai sahabat
memperluas cakrawala pengetahuan semakin terpinggirkan.
Sesungguhnya menilai perbaikan
ekonomi, tak bisa dilepaskan dari perbaikan pendidikan. Makin rendah kesadaran
mendapatkan pendidikan, perekonomian suatu bangsa mendekati kehancuran. Tak
heran kemiskinan di Indonesia makin marak. Sebab masyarakat Indonesia pada
umumnya dominan berpendidikan rendah. Kondisi yang dimulai dari banyaknya buta
huruf dan kebiasaan negatif malas membaca.
Realitas lapangan menyebutkan,
pemberdayaan masyarakat dimulai dengan tumbuhnya kesadaran membaca. Berbagai
penelitan menunjukkan, minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Sekalipun
ada lebih berorientasi pada bacaan ringan dan menghibur. Tak heran peredaran
majalah hiburan, komik, teenlit lebih menjual dan laku keras. Berbanding
terbalik dengan buku pengetahuan umum, media cetak dan jurnal ilmiah yang
kurang laku di pasaran.
Repotnya kesadaran membaca
belum banyak mendapatkan keteladanan. Indonesia yang banyak dikuasai umat Islam
seperti kehilangan ulama hebat. Umat dilupakan bagaimana Islam pernah berjaya
ketika dunia pengetahuan terbuka luas. Sebuah zaman dimana Eropa tercerahkan
sosok Ibnu Chaldun, penulis dan sosiolog kebanggaan Islam yang mampu menelurkan
karya fenomenal Mukadimmah. Jangan lupakan bagaimana Ibnu Rusyd, seorang
filosof sekaligus dokter muslim yang berhasil menulis al-Kulliyat. Sebuah karya
penting yang berisi kajian ilmiah pertama kali mengenai tugas jaringan dalam
kelopak mata.
Agaknya umat Islam Indonesia
harus kembali menemukan catatan emas sejarah para ulama. Sebab mereka
mewariskan kebiasaan “Qur’ani” yaitu membaca. Sebuah kebiasaan sebagai
manifestasi firman Allah ketika menurunkan Surat Al – Alaq. Tentunya kita tahu,
bagaimana Allah memerintahkan Muhammad untuk membaca. Sebab dari perkataan “iqra”,
timbul kesadaran dan tanggung jawab mencerdaskan dirinya dan orang lain.
Seorang muslim yang tinggi intensitas membacanya akan diakui kapasitas
keilmuannya. Sehingga dirinya mampu memberikan pencerahan atas persoalan yang
dihadapi masyarakatnya.
Banyak manfaat membaca selain
meneruskan tradisi ulama seperti meninggikan izzah kaum muslimin. Allah sudah
menegaskan tidak akan merubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu merubah
nasibnya sendiri. Ketertinggalan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya umat
Islam dari kaum Barat (mayoritas Nasrani dan Yahudi) adalah lemahnya kebiasaan
membaca. Sudah sepantasnya itu harus dikejar sehingga masa keemasan dan
kejayaan peradaban Islam kembali terulang seperti zaman Daulah Abbasiyah.
Kesadaran akan arti penting membaca harus ditanamkan sejak dini
Beternak Buku
Perubahan paradigma memainkan
peran strategis menyuburkan budaya baca. Misalnya Ketika berkunjung ke pusat
perbelanjaan, biasakan menyisihkan uang membeli buku. Tanamkan dalam hati dan
pikiran, buku sebagai investasi pengetahuan yang tidak habis direguk. Selain
itu, suburkan paradigma “beternak buku” yaitu buku sebagai teman terindah dalam
setiap kegiatan kita. Ketika itu berhasil dijalankan, selalu ada rasa
kehilangan jika sehari tidak membaca buku.
Motivasi terbaik tentu datang
dari motivasi pribadi untuk merasakan pentingnya membaca. Pengaruh eksternal
sendiri berfungsi mendorong minat membaca. Ada baiknya Indonesia belajar dari
Jepang, ketika mengalami kekalahan pasca Perang Dunia. Mereka mendorong
masyarakatnya membaca dengan menyediakan banyak buku. Berbagai macam literatur
asing tak segan diterjemahkan, sehingga terbuka lebar dunia pengetahuan.
Tidak ada salahnya kita
mengingat kembali nasehat 3M dari Aa Gym. Mulai dari diri sendiri untuk
membiasakan banyak membaca. Mulai dari yang paling kecil yaitu mengajak anggota
keluarga kemudian masyarakat untuk semangat membaca. Jadikan pribadi kita sebagai
teladan bagi penyebaran semangat membaca di masyarakat sekitar. Mulai saat ini
juga tanpa harus menunggu waktu lagi, langsung anda ambil buku dan membaca.
Akhirnya kita pantas berharap
pertumbuhan minat baca yang tinggi akan terjadi. Dengan membiasakan membaca,
pengetahuan meningkat dan ketertinggalan perekonomian dari bangsa lain dapat
dikejar. Tak ketinggalan kualitas SDM meningkat dan pendidikan semakin
menempati posisi strategis bagi pengembangan manusia Indonesia yang unggul,
maju dan berkualitas. Proses pengentasan buta aksara juga tertuntaskan sehingga
manusia Indonesia mengalami melek aksara.
Selamat Membaca!
Sumber: eramuslim.com
Share
Labels:
Idea
0 comments:
Post a Comment