Friday, May 4, 2012 |
0
comments
Kehidupan di terminal ternyata
tak selalu suram. Di tempat yang akrab dengan kekerasan ini ada sosok yang
berusaha mengubah semua itu dengan pendidikan.
Adalah Nurrochim, lelaki
kelahiran Tegal, 3 Juli 1971 yang berjuang mengubah wajah sangar Terminal Depok,
Jawa Barat. Masjid yang berada di terminal itu diubah menjadi sekolah gratis
untuk anak-anak jalanan dan preman.
Menurut Nurrochim, semua yang
diperjuangkannya sejak tahun 2000 ini adalah bentuk keprihatinan terhadap
kondisi lingkungan sekitar. Katanya, banyak sekali anak-anak yang ditemukan
tidur di pinggir got karena mabuk.
“Dulu, anak-anak di sini kalau
punya uang pasti mabok. Yang shalat juga sedikit dan malu kalau ketahuan
shalat. Kini kebalikannya, justru yang tidak shalat dan mabok yang malu,” papar
Nurrochim kepada Suara Hidayatullah.
Menawarkan Solusi
Menurutnya, tidak semua
anak-anak jalanan di terminal tidak berpendidikan. Beberapa di antara mereka
pernah bersekolah di pesantren atau sekolah umum. Tetapi terpaksa putus di
tengah jalan karena tidak ada biaya.
Soal kecerdasan, kata
Nurrochim, anak-anak jalanan ini tidak ketinggalan. Pembinaan yang dilakukan
oleh Yayasan Bina Insan Mandiri (YABIM) –yayasan yang didirikan Nurrochim –
menunjukan mereka mampu berprestasi. Ada yang menjuarai olimpiade tingkat
nasional, juara pertama lomba karya tulis, hingga meraih penghargaan terbaik
lomba menulis surat kepada Presiden SBY.
Pendekatan yang dilakukan
Nurrochim untuk menggandeng penduduk sekitar berpartisipasi dalam program
pendidikan YABIM pun tergolong unik. Ia menegaskan bahwa preman dan anak
jalanan sejatinya orang-orang yang membutuhkan teman.
“Mereka layaknya manusia biasa
yang butuh tempat curhat dan memiliki potensi fitrah. Tuntutan hiduplah yang
membuat mereka jauh dari nilai-nilai agama,” ujar Nurrochim.
Nurrochim biasa melakukan
pendekatan saat anak jalanan atau preman sedang terlibat masalah, seperti
terjaring razia polisi atau ketika harus menjalani perawatan di rumah sakit
yang membutuhkan biaya besar.
anak-anak dengan prasarana seadanya antusia mengikuti pelajaran
(sumber foto: republika.co.id)
Nurrochim -yang membuka usaha
warung nasi Tegal- tidak keberatan warungnya dijadikan tempat kumpul preman dan
anak jalanan. Walau seringkali mereka makan tanpa bayar atau hutang. Tapi
dengan cara ini dia bisa membuka dialog tentang pentingya agama dan pendidikan
untuk masa depan yang lebih baik.
Tak hanya dialog, Nurrochim
juga memberi solusi. Bekerjasama dengan pihak Masjid Al-Muttaqien, ia membuka
dua kelas sekolah gratis untuk anak-anak jalanan dan preman. Ia menekankan,
bahwa masjid adalah tempat lahirnya orang-orang besar dalam peradaban. Jadi,
mereka pun harus menjadikan masjid sebagai tempat mereka membangun masa depan.
Sekolah tersebut kini terkenal
dengan nama Master (Masjid Terminal). Jumlah siswa yang ditampung oleh
Nurrochim awalnya hanya 330 anak, setingkat SD dan SMP. Kini, jumlah itu
membengkak menjadi sekitar 2.000 orang; 800 siswa SMU, 600 siswa SMP, 400 siswa
SD, dan 200 siswa TK.
Ini belum termasuk anak-anak
program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan peserta didik kelas malam yang
terdiri dari orang-orang dewasa yang belajar di jalur life skill.
Suami Elvirawati ini pun
menegaskan pada peserta didiknya bahwa ia tidak mengharapkan apa-apa. Ia hanya
berharap masa depan mereka yang lebih baik. “Balasan untuk saya cukup doa dan
mereka mampu membaca al-Qur`an,” ujarnya.
Para lulusan Master kini telah
berhasil kuliah di Universitas Indonesia (3 orang), di UIN Syarif Hidayatullah,
dan UNJ (30 orang ). Ratusan lainnya bekerja sebagai satpam dan karyawan
perusahaan. Ada juga yang membuka usaha sendiri seperti bengkel, salon, atau
gerai telepon selular.
Teror dan Isu Islamisasi
Meski demikian, lelaki yang
sedang meneruskan pendidikannya di jurusan Manajemen Pendidikan ini juga
mengaku kiprahnya tak selamanya mulus. Tantangan itu datang dari berbagai
pihak, termasuk teror fisik. Ada orangtua murid yang tidak ingin anaknya
sekolah karena mengurangi pendapatan anak-anak mereka, ada juga yang merasa
lahan garapannya terganggu karena aktivitas Nurrochim dan rekan-rekannya,
hingga dicap sebagai pimpinan preman.
“Cap pimpinan preman karena
saya acapkali menolong mereka keluar dari penjara, atau sekadar menebus
anak-anak yang terkena razia,” tuturnya.
Program pendidikan yang
dikelolanya juga pernah diisukan sebagai usaha islamisasi. Pasalnya, umat Islam
di lingkungan Terminal Depok memang minoritas, sehingga kegiatannya dianggap
sebagai usaha untuk mengislamkan anak-anak didiknya. “Memang setidaknya ada
lima hingga sepuluh orang yang masuk Islam setiap bulannya di sini,” ungkapnya.
Ada kejadian unik tentang
islamisasi. Suatu hari datang bingkisan dari seorang tokoh yang ditujukan pada
siswa putri. Bingkisan tersebut dibagikan tanpa terkecuali, termasuk pada siswa
yang beragama non-Islam.
Tanpa sepengetahuan Nurrochim,
di dalam bingkisan tersebut terdapat jilbab dan mukena. Semua siswi kemudian
belajar menggunakan jilbab dan shalat dengan mukena pemberian tokoh tersebut.
Termasuk seorang siswi yang non-Muslim. Siswi itu turut serta berjilbab saat
belajar dan shalat dengan mukena. Orangtuanya sendiri sesungguhnya tidak
keberatan, tetapi ada kerabatnya yang menentang, hingga anak tersebut akhirnya
pindah tempat tinggal.
Memperluas Kiprah
Nurrochim memang sosok yang
inspiratif. Ia hadir manakala ketimpangan sosial dan ekonomi seolah menjadi
jerat yang sulit diputuskan. Hingga saat ini usaha yang dilakukan oleh
Nurrochim dan rekan-rekan relawan tak hanya di bidang pendidikan. Di bawah
payung (YABIM), ia juga membuka klinik sehat dan BMT Mandiri. Dalam
operasionalnya, ia bekerja sama dengan lembaga zakat seperti Baznas, Dompet
Dhuafa, dan Rumah Zakat.
Selain itu, juga bekerja sama
dengan Diknas, sehingga dapat memperoleh jatah 50 persen dari kuota peserta
kursus keterampilan yang dibiayai Diknas setiap tahunnya. Hal sama, juga ia
terapkan pada sekolah-sekolah negeri maupun swasta sehingga ia dapat menitipkan
siswanya untuk belajar di sekolah-sekolah atau pesantren tersebut.
Nurrochim juga tak segan
mencarikan pekerjaan bagi anak-anak didiknya, terutama bagi mereka yang lebih
menonjol di bidang selain akademis. “Yang penting, mereka bisa memiliki masa
depan yang lebih baik dengan ilmu yang mereka miliki,” ujar pria yang gemar
membaca ini.
Sejak kecil Nurrochim sendiri
tumbuh bersama anak jalanan ketimbang berdiam diri di rumah. Hingga akhirnya ia
dikirim untuk belajar di kampung halamannya, Tegal, guna menuntut ilmu di
Pesantren Ma’hadut Tolabah hingga lulus SMU. Lalu ia melanjutkan pendidikannya
di Ma’had az-Zaytun Jakarta Selatan. Kemudian dilanjutkan dengan belajar di
Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Jakarta, dan kini tengah meneruskan S1-nya
di jurusan manajemen pendidikan Universitas Indraprasta Jakarta.
Nurrochim mengaku,
perjuangannya masih panjang. Masih ada cita-cita yang belum diwujudkannya yaitu
memiliki sebuah perguruan tinggi dan rumah sakit yang dikelola untuk siapa saja
yang membutuhkan.*Ibnu Syafa’at/Suara Hidayatullah DESEMBER 2008
Sumber: http://majalah.hidayatullah.com
Share
Labels:
Inspiration
0 comments:
Post a Comment