Monday, May 14, 2012 |
0
comments
Kali ini saya akan berbagi
pengetahuan tentang sosok yang saya kagumi. Ilmuwan muslim yang bukan hanya
ahli fisika, tetapi juga ahli agama dan luas pergaulannya dalam dunia Islam.
Jika Anda berkunjung ke TMII di Museum IPTEK maka Anda akan menemukan fotonya
di dinding dekat pintu masuk. Ya, sosok yang saya maksud itu adalah Prof. Abdus
Salam, untuk mengenalnya saya kopikan artikel dari salah satu blog. Ini dia.
Profil Prof. Abdus Salam terpampang di TMII
(foto koleksi pribadi)
Prof. Abdus Salam dilahirkan
pada tanggal 29 Januari 1926 di Jhang, sebuah kota kecil di Pakistan, pada
tahun 1926. Ia merupakan fisikawan muslim terbaik abad 21. Ayahnya ialah
pegawai dalam Dinas Pendidikan dalam daerah pertanian. Kelurga Abdus Salam
mempunyai tradisi pembelajaran dan alim. Hanya sayangnya, ia memasuki Jamaah
Muslim Ahmadiyyah dari Qadian, yang mempercayai kedatangan kedua dari Almasih,
Nabi Isa yang kedua kalinya yang dijanjikan, Imam Mahdi, begitu juga sebagai
Mujaddid pada abad ke 14 H dalam Kalender Islam dalam wujud Mirza Ghulam Ahmad,
sehingga aliran ini dianggap sebagai minoritas non-Muslim di Pakistan.
Akibatnya, sampai saat meninggalnya pada 1996, ia tidak pernah diberi
penghargaan resmi oleh pemerintah Pakistan.
Dalam usia sangat muda (22
tahun) Salam meraih doktor fisika teori dengan predikat summa cumlaude di
University of Cambridge, sekaligus meraih Profesor fisika di Universitas
Punjab, Lahore. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai
rata-rata 10 di St.John’s College, Cambridge. Salam adalah satu dari empat
muslim yang pernah meraih Hadiah Nobel. Tiga lainnya adalah Presiden Mesir
Anwar Sadat (Nobel Perdamaian 1978), Naguib Mahfoud (Nobel Sastra 1988),
Presiden Palestina Yasser Arafat (bersama dua rekannya dari Israel, Nobel
Perdamaian 1995).
Penerima gelar Doktor Sains
Honoris Causa dari 39 universitas/lembaga ilmiah dari seluruh dunia ini, yang
sekali waktu pernah menyebut dirinya sebagai penerus ilmuwan muslim seribu
tahun yang silam, telah menyatakan dengan tegas: harga diri suatu umat kini
tergantung pada penciptaan prestasi ilmiah dan teknologis.Harga diri itu, seperti
yang telah dibuktikan oleh Salam sendiri bukan saja dapat mengangkat suatu
masyarakat sejajar dengan masyarakat lain. Gerakan dan keikutsertaan mencipta
sains teknologi akan memberikan kontribusi pada peningkatan harkat seluruh umat
manusia, tanpa melihat agama dan asal-usul kebangsaannya. Itulah rahmatan lil
alaamin.
Abdus Salam adalah fisikawan
muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah
pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang
berperan di alam ini. Yaitu, gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya
kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya
lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan
inti radioaktif. Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah
menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda.
Adanya kesatuan dalam interaksi
gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam-Sheldon Lee Glashow-Steven Weinberg
dalam teori “Unifying the Forces”. Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus
lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan
arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan
Nobel Fisika 1979.
Eksistensi tiga partikel itu
telah dibuktikan secara eksperimen tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin
Carlo Rubia direktur CERN (Cetre Europeen de Recherche Nucleaire) di Jenewa,
Swiss. Ternyata, rintisan Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain
ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir seperti Grand Theory (GT)
yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory of Everything-nya Stephen Hawking.
Melalui dua teori itulah, para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi
untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang
utuh. Karena kecerdasannya yang luar biasa, Salam pernah dipanggil pulang oleh
Pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963 dia menjadi penasihat
Presiden Pakistan Ayub Khan khusus untuk menangani pengembangan iptek di
negaranya. Ia mengundurkan diri dari posisinya di pemerintah ketika Zulfiqar
Ali Bhutto naik menjadi PM Pakistan. Profesor Salaam tak bisa menerima
perlakuan Ali Bhutto yang mengeluarkan Undang-Undang minoritas non Muslim
terhadap Jemaat Ahmadiyah- komunitas Islam tempat dirinya lahir dan dibesarkan.
Tak ada dendam yang sanggup
melahirkan perasaan Permusuhan Salam pada Negerinya Pakistan. Ia memilih pergi
dengan damai untuk menyebarkan Ilmu Pengetahuan bagi Dunia dan seluruh Umat
Manusia. Itu dibuktikannya dengan sebagian besar usianya dihabiskan sebagai
guru besar fisika di Imperial College of Science and Technology, London, dari
1957-1993. Sejak 1964 ia menjadi peneliti senior di International Centre for
Theoretical Physics (ICTP) di Trieste, Italia, sekaligus menjadi direkturnya
selama 30 tahun.
Hingga akhir hayatnya, putra
terbaik Pakistan itu mendapat tak kurang dari 39 gelar doktor honoris causa.
Antara lain dari Universitas Edinburgh (1971), Universitas Trieste (1979),
Universitas Islamabad (1979), dan universitas bergengsi di Peru, India,
Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, Cina, Swedia, Belgia dan Rusia.
Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan
Nasional 35 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Abdus Salam tergolong duta
Islam yang baik. Sebagai contoh, dalam pidato penganugerahan Nobel Fisika di
Karolinska Institute, Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmalah.
Di situ ia mengaku bahwa riset itu didasari oleh keyakinan terhadap kalimah
tauhid. “Saya berharap Unifying the Forces dapat memberi landasan ilmiah
terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” kata penulis 250 makalah ilmiah
fisika partikel itu.
Prof.Abdus Salam, wafat Kamis
21 Nov 1996 di Oxford, Inggris, dalam usia 70 tahun dan meninggalkan seorang
istri serta enam anak (dua laki-laki dan empat perempuan). Salam sudah
berangkat menuju Yang Maha Esa di usia 70 tahun. Ia dimakamkan di tanah air
yang teramat sangat dicintainya,dikota Rabwah- Pakistan. Kita yang
ditinggalkannya kini hanya dapat bertanya, benarkah kita juga punya rasa harga
diri religius, seperti rasa harga diri yang menggerakkan tokoh yang teramat
dihormati oleh komunitas sains internasional ini? Yang pasti, penerima gelar
Doktor Sains Honoris Causa dari 39 universitas/lembaga ilmiah dari seluruh
dunia ini, yang sekali waktu pernah menyebut dirinya sebagai penerus ilmuwan
muslim seribu tahun yang silam, telah menyatakan dengan tegas: harga diri suatu
umat kini tergantung pada penciptaan prestasi ilmiah dan teknologis.
Share
Labels:
Info
0 comments:
Post a Comment