Wednesday, May 2, 2012 |
0
comments
“Kemiskinan Bukan Halangan
Untuk Cerdas” tertempel di antara ribuan buku yang tersusun rapi di rak yang
menempel di dinding di rumah kecil Kiswanti di Kampung Saja, Desa Pemegar Sari,
Lebak Wangi, Parung, Kabupaten Bogor. Berbagai tulisan dan poster pengetahuan
serta sejumlah alat peraga ilmu mewarnai ruangan samping rumah Kiswanti yang
beralaskan karpet plastik dengan tiga buah meja rendah yang biasa digunakan
anak-anak untuk beraktivitas sambil lesehan.
Kiswanti, perempuan kelahiran Bantul, Yogya, sedang melayani anak-anak
Sementara di ruang depan rumah
di perkampungan itu, terlihat tujuh unit komputer ditaruh berjajar di meja
rendah siap digunakan anak-anak yang mengikuti kursus komputer pada sore hari.
Begitulah gambaran isi ruangan
taman bacaan anak-anak “Warabal” atau Warung Baca Lebak Wangi yang didirikan
Kiswanti sejak 2003 atas biaya dan motivasinya yang besar untuk menyebarkan
ilmu pengetahuan kepada masyarakat di lingkungannya terutama anak-anak.
Jumlah buku yang ada di Warabal
sampai saat ini sudah mencapai 8.515 di luar buku pelajaran dan majalah. Buku-buku
itu merupakan hasil jerih payah Kiswanti yang sejak kecil memang suka membaca
dan mengumpulkan buku meski sekolahnya hanya lulus SD.
“70 persen buku di sini saya
yang beli, sisanya sumbangan dari berbagai pihak,” kata ibu dua anak ini.
Pada masa kecilnya, perempuan
kelahiran Yogyakarta, 4 Desember 1962, ini menjalani kehidupan yang berbeda
dengan anak-anak seusianya di Desa Ngipian, Jetis, Bantul. Kemiskinan
membuatnya tak bisa mengenyam bangku pendidikan formal lebih tinggi. Ayahnya,
Trisno Suwarno, seorang tukang becak. Ibunya, Tumirah, penjual jamu gendong.
Meski hanya lulus SD keinginan
yang besar Kiswanti untuk terus membaca dan mengumpulkan buku tidak pernah
surut. Sambil bekerja membantu orangtuanya sedikit demi sedikit uang
dikumpulkan untuk membeli buku.
Tidak bersekolah ia imbangi
dengan banyak membaca. Ia mengumpulkan beragam buku bekas, pembelian
orangtuanya di pasar loak. Ribuan judul buku telah berhasil dikumpulkannya di
rumah sejak dia muda. “Kalau dapat uang pasti yang pertama saya beli buku,
tidak peduli bahwa uang itu sebenarnya untuk makan,” katanya.
Kebiasaan itu terus berlanjut
ketika dia mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, di rumah
warga negara Filipina. Di situ pun Kiswanti meminta agar gajinya sebesar
Rp40.000 per bulan dibayarkan dengan buku.
Kursus seribu rupiah Setelah
menikah dengan Ngatmin seorang tukang bangunan, pada tahun 1994 Kiswanti pindah
ke Lebak Wangi sebuah desa yang saat itu masih tertinggal, karena belum ada
listrik dan telepon serta rendahnya kesadaran terhadap pendidikan akibat faktor
ekonomi.
Karena melihat di kampung itu
masyarakatnya masih jauh dari kebiasaan membaca. Kiswanti membuka warung di
rumahnya, sambil menggelar buku-buku koleksinya sehingga anak-anak yang datang
berbelanja, mulai melihat-lihat buku itu.
Cerita tentang banyaknya buku
di rumah Kiswanti menyebar di seluruh warga kampung dan sekitarnya. Pada tahun
2000, Kiswanti mulai berkeliling meminjamkan bukunya secara gratis dengan
bersepeda ke empat kampung lainnya di Kecamatan Parung yang cukup jauh jaraknya
dari rumah.
“Banyak anak-anak yang tidak
bisa datang ke sini, jadi saya menghampiri mereka untuk menjemput bola,”
katanya.
Bersepeda meminjamkan buku
dilakukan Kiswanti hingga 2003, dan berhenti setelah dirinya mengidap penyakit
lever yang menghalanginya untuk bersepeda jarak jauh.
Peminjaman buku ke
kampung-kampung lain kini dikerjakan salah seorang relawan Warabal dengan
menggunakan motor yang dilengkapi kotak buku dari aluminium dengan bertuliskan
perpustakaan keliling Warabal.
Dengan motor, Kiswanti bisa
menjangkau pelanggan peminjam bukunya di kampung yang lebih jauh dan terpelosok
seperti di daerah Rumpin Bogor yang berjarak sekitar 30 km dari rumahnya.
Pengembangan Warabal terus
dilakukan Kiswanti, termasuk membangun kebersamaan warga kampungnya dalam
memperbaiki kesejahteraan seperti dengan mendirikan kelompok ibu-ibu yang
bergerak dalam kegiatan simpan pinjam dan kelompok memasak yang bertujuan
memperbaiki gizi masyarakat.
Sementara kaum bapak diajaknya
untuk memanfaatkan lahan kosong untuk bercocok tanam dan memelihara ternak.
Semua kegiatan itu dipelajari dari pengetahuan yang didapat dari buku yang
dibacanya.
Khusus untuk pertemuan kaum ibu
setiap sebulan sekali, Kiswanti menerapkan kebiasaan untuk selalu diawali
dengan paparan tuan rumah mengenai buku yang telah dibacanya, dengan tema buku
bebas seperti memasak, tanaman, hobi dan kesehatan. Pertemuan itu saat ini
diikuti 450 ibu rumah tangga yang dibagi dalam sembilan kelompok.
Saat ini berbagai aktivitas
anak dan warga berlangsung di Warabal setiap hari. Setiap Senin sampai Jumat
pada pagi hari digunakan untuk sekolah usia dini (Pendidikan Anak Usia
Dini/PAUD), sementara siang hingga sore dipenuhi anak umur 6 – 10 tahun yang
mengaji dan kursus komputer.
Sementara malam digunakan
menjadi tempat berkumpul remaja 11-18 tahun yang belajar berkelompok. Sementara
kaum ibu mendatangi tempat ini di sela-sela waktu mereka. Ruang baca dibuka 24
jam, tidak dikunci.
Hari Sabtu dipakai untuk
menerima kunjungan dari sekolah-sekolah di sekitar Parung. Sementara Minggu
dimanfaatkan untuk kursus Bahasa Inggris, Matematika dan Fisika.
“Total sudah ada 415 murid
termasuk 210 murid di hari Minggu. Biaya kursus cuma Rp1.000 setiap kali
datang. Sementara untuk komputer bayar Rp2.000 saja setiap kali datang,” kata
Kiswanti yang sudah memiliki 16 guru relawan.
Biaya yang dipungut itu tidak
digunakan untuk kepentingan pribadi atau membayar guru. Uang yang terkumpul
akan digunakan untuk kepentingan anak-anak seperti untuk memperbanyak soal
ujian dan menambah buku acuan.
Atas upayanya dalam membantu
mengembangkan pendidikan anak dan upayanya menggerakkan masyarakat berbagai
penghargaan telah diraih Kiswanti dari berbagai pihak termasuk dari Kemdiknas.
Berbagai tawaran bantuan baik
barang atau uang terus mengalir, meski tidak semuanya diterima Kiswanti.
“Saya tidak mau kerjasama yang
menempatkan kami menjadi binaan karena itu bisa membatasi gerak kami. Termasuk
dari berbagai pihak yang meminta kami menjadi yayasan. Biarlah Warabal tetap
seperti ini karena yang penting adalah kegiatannya,” kata Kiswanti.
Penghargaan Bu De Is, demikian
anak-anak didiknya memanggil kini semakin sibuk dengan kunjungan ke berbagai
seminar dan diskusi di sejumlah kota bahkan luar negeri yang memintanya
berbicara mengenai perjuangannya mendirikan taman bacaan Warabal yang semakin
berkembang dan upayanya menggerakkan masyarakat.
“Akhir September lalu saya ke
Filipina. Mimpi apa saya yang hanya lulus SD dan bekas pembantu ini menjadi
pembicara di luar negeri,” katanya.
Menurut Kiswanti, dirinya akan
terus berusaha mengembangkan Warabal untuk terus mewujudkan mimpinya agar
anak-anak bisa terus belajar dan menyebarkan ilmu, dengan berupaya menggali
potensi dirinya agar bisa menghidupi diri sendiri.
“Semuanya saya lakukan dengan
landasan untuk berbuat baik setiap hari, sebab kesempatan berbuat baik adalah
pada hari ini karena kita tidak tau nasib kita besok,” katanya.
Kiswanti juga mengharapkan
perjuangannya ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat untuk terus berjuang membantu
orang lain meski kemiskinan menghalangi.
“Kita harus melayani tanpa
meminta pamrih dan memberi tanpa meminta kembali. Jangan khawatir tidak punya
modal, tidak punya pendidikan untuk membantu orang lain, tetapi jadilah contoh,
terutama bagi anak-anak,” katanya.
Mengenai terpilihnya sebagai
salah satu dari 10 finalis Award salah satu Bank, Kiswanti mengatakan dirinya tidak
terlalu berharap untuk menang.
“Saya hanya berharap semoga keberadaan saya
bisa menginspirasi dan tidak berharap menjadi terkenal,” katanya.
Sumber: http://www.facebook.com/notes/oasezone-media/142363622488661
Share
Labels:
Inspiration
0 comments:
Post a Comment