Sekolah Master, Mengukir Prestasi dalam Keterbatasan


Kehidupan di terminal ternyata tak selalu suram. Di tempat yang akrab dengan kekerasan ini ada sosok yang berusaha mengubah semua itu dengan pendidikan.

Adalah Nurrochim, lelaki kelahiran Tegal, 3 Juli 1971 yang berjuang mengubah wajah sangar Terminal Depok, Jawa Barat. Masjid yang berada di terminal itu diubah menjadi sekolah gratis untuk anak-anak jalanan dan preman.

Menurut Nurrochim, semua yang diperjuangkannya sejak tahun 2000 ini adalah bentuk keprihatinan terhadap kondisi lingkungan sekitar. Katanya, banyak sekali anak-anak yang ditemukan tidur di pinggir got karena mabuk.
“Dulu, anak-anak di sini kalau punya uang pasti mabok. Yang shalat juga sedikit dan malu kalau ketahuan shalat. Kini kebalikannya, justru yang tidak shalat dan mabok yang malu,” papar Nurrochim kepada Suara Hidayatullah.

Menawarkan Solusi
Menurutnya, tidak semua anak-anak jalanan di terminal tidak berpendidikan. Beberapa di antara mereka pernah bersekolah di pesantren atau sekolah umum. Tetapi terpaksa putus di tengah jalan karena tidak ada biaya.

Soal kecerdasan, kata Nurrochim, anak-anak jalanan ini tidak ketinggalan. Pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Insan Mandiri (YABIM) –yayasan yang didirikan Nurrochim – menunjukan mereka mampu berprestasi. Ada yang menjuarai olimpiade tingkat nasional, juara pertama lomba karya tulis, hingga meraih penghargaan terbaik lomba menulis surat kepada Presiden SBY.

Pendekatan yang dilakukan Nurrochim untuk menggandeng penduduk sekitar berpartisipasi dalam program pendidikan YABIM pun tergolong unik. Ia menegaskan bahwa preman dan anak jalanan sejatinya orang-orang yang membutuhkan teman.

“Mereka layaknya manusia biasa yang butuh tempat curhat dan memiliki potensi fitrah. Tuntutan hiduplah yang membuat mereka jauh dari nilai-nilai agama,” ujar Nurrochim.

Nurrochim biasa melakukan pendekatan saat anak jalanan atau preman sedang terlibat masalah, seperti terjaring razia polisi atau ketika harus menjalani perawatan di rumah sakit yang membutuhkan biaya besar.

anak-anak dengan prasarana seadanya antusia mengikuti pelajaran
(sumber foto: republika.co.id)

Nurrochim -yang membuka usaha warung nasi Tegal- tidak keberatan warungnya dijadikan tempat kumpul preman dan anak jalanan. Walau seringkali mereka makan tanpa bayar atau hutang. Tapi dengan cara ini dia bisa membuka dialog tentang pentingya agama dan pendidikan untuk masa depan yang lebih baik.

Tak hanya dialog, Nurrochim juga memberi solusi. Bekerjasama dengan pihak Masjid Al-Muttaqien, ia membuka dua kelas sekolah gratis untuk anak-anak jalanan dan preman. Ia menekankan, bahwa masjid adalah tempat lahirnya orang-orang besar dalam peradaban. Jadi, mereka pun harus menjadikan masjid sebagai tempat mereka membangun masa depan.

Sekolah tersebut kini terkenal dengan nama Master (Masjid Terminal). Jumlah siswa yang ditampung oleh Nurrochim awalnya hanya 330 anak, setingkat SD dan SMP. Kini, jumlah itu membengkak menjadi sekitar 2.000 orang; 800 siswa SMU, 600 siswa SMP, 400 siswa SD, dan 200 siswa TK.

Ini belum termasuk anak-anak program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan peserta didik kelas malam yang terdiri dari orang-orang dewasa yang belajar di jalur life skill.

Suami Elvirawati ini pun menegaskan pada peserta didiknya bahwa ia tidak mengharapkan apa-apa. Ia hanya berharap masa depan mereka yang lebih baik. “Balasan untuk saya cukup doa dan mereka mampu membaca al-Qur`an,” ujarnya.

Para lulusan Master kini telah berhasil kuliah di Universitas Indonesia (3 orang), di UIN Syarif Hidayatullah, dan UNJ (30 orang ). Ratusan lainnya bekerja sebagai satpam dan karyawan perusahaan. Ada juga yang membuka usaha sendiri seperti bengkel, salon, atau gerai telepon selular.

Teror dan Isu Islamisasi
Meski demikian, lelaki yang sedang meneruskan pendidikannya di jurusan Manajemen Pendidikan ini juga mengaku kiprahnya tak selamanya mulus. Tantangan itu datang dari berbagai pihak, termasuk teror fisik. Ada orangtua murid yang tidak ingin anaknya sekolah karena mengurangi pendapatan anak-anak mereka, ada juga yang merasa lahan garapannya terganggu karena aktivitas Nurrochim dan rekan-rekannya, hingga dicap sebagai pimpinan preman.

“Cap pimpinan preman karena saya acapkali menolong mereka keluar dari penjara, atau sekadar menebus anak-anak yang terkena razia,” tuturnya.

Program pendidikan yang dikelolanya juga pernah diisukan sebagai usaha islamisasi. Pasalnya, umat Islam di lingkungan Terminal Depok memang minoritas, sehingga kegiatannya dianggap sebagai usaha untuk mengislamkan anak-anak didiknya. “Memang setidaknya ada lima hingga sepuluh orang yang masuk Islam setiap bulannya di sini,” ungkapnya.

Ada kejadian unik tentang islamisasi. Suatu hari datang bingkisan dari seorang tokoh yang ditujukan pada siswa putri. Bingkisan tersebut dibagikan tanpa terkecuali, termasuk pada siswa yang beragama non-Islam.

Tanpa sepengetahuan Nurrochim, di dalam bingkisan tersebut terdapat jilbab dan mukena. Semua siswi kemudian belajar menggunakan jilbab dan shalat dengan mukena pemberian tokoh tersebut. Termasuk seorang siswi yang non-Muslim. Siswi itu turut serta berjilbab saat belajar dan shalat dengan mukena. Orangtuanya sendiri sesungguhnya tidak keberatan, tetapi ada kerabatnya yang menentang, hingga anak tersebut akhirnya pindah tempat tinggal.

Memperluas Kiprah
Nurrochim memang sosok yang inspiratif. Ia hadir manakala ketimpangan sosial dan ekonomi seolah menjadi jerat yang sulit diputuskan. Hingga saat ini usaha yang dilakukan oleh Nurrochim dan rekan-rekan relawan tak hanya di bidang pendidikan. Di bawah payung (YABIM), ia juga membuka klinik sehat dan BMT Mandiri. Dalam operasionalnya, ia bekerja sama dengan lembaga zakat seperti Baznas, Dompet Dhuafa, dan Rumah Zakat.

Selain itu, juga bekerja sama dengan Diknas, sehingga dapat memperoleh jatah 50 persen dari kuota peserta kursus keterampilan yang dibiayai Diknas setiap tahunnya. Hal sama, juga ia terapkan pada sekolah-sekolah negeri maupun swasta sehingga ia dapat menitipkan siswanya untuk belajar di sekolah-sekolah atau pesantren tersebut.

Nurrochim juga tak segan mencarikan pekerjaan bagi anak-anak didiknya, terutama bagi mereka yang lebih menonjol di bidang selain akademis. “Yang penting, mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik dengan ilmu yang mereka miliki,” ujar pria yang gemar membaca ini.

Sejak kecil Nurrochim sendiri tumbuh bersama anak jalanan ketimbang berdiam diri di rumah. Hingga akhirnya ia dikirim untuk belajar di kampung halamannya, Tegal, guna menuntut ilmu di Pesantren Ma’hadut Tolabah hingga lulus SMU. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Ma’had az-Zaytun Jakarta Selatan. Kemudian dilanjutkan dengan belajar di Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Jakarta, dan kini tengah meneruskan S1-nya di jurusan manajemen pendidikan Universitas Indraprasta Jakarta.

Nurrochim mengaku, perjuangannya masih panjang. Masih ada cita-cita yang belum diwujudkannya yaitu memiliki sebuah perguruan tinggi dan rumah sakit yang dikelola untuk siapa saja yang membutuhkan.*Ibnu Syafa’at/Suara Hidayatullah DESEMBER 2008
Sumber: http://majalah.hidayatullah.com

Share
Labels:

0 comments:

Post a Comment

Pustaka Rumah Dunia

adalah rumah baca dan sanggar karya yang terletak di pelosok kampung, jauh dari kota. kami hadir sebagai bagian dari usaha mencerdaskan generasi penerus bangsa. tidak banyak yang bisa kami lakukan, tapi kami terus berusaha mencobanya. bukan untuk apa atau siapa, semata memberi manfaat bagi sesama

PRD on TWIT

Tinggalkan Jejakmu

Followers

Karya Pribadi

Karya Pribadi
Buku Pertama yang diterbitkan
Powered by Blogger.